Baca

Tokoh utama dalam cerita Si Manis Jembatan Ancol

Gambar
Tokoh utama dalam cerita ini adalah seorang pemuda bernama Ahmad. Dia dikenal sebagai seseorang yang jujur, pekerja keras, dan cerdas. Ahmad tumbuh dalam keluarga yang sederhana namun penuh kasih sayang. Ayahnya seorang petani sedangkan ibunya seorang guru di sebuah sekolah dasar. Ahmad selalu tekun belajar dan memperoleh nilai yang sangat baik di sekolah. Ia juga rajin membantu orang tua di sawah dan selalu siap membantu orang yang membutuhkannya. Meskipun hidup dalam keadaan yang sulit, Ahmad selalu berusaha untuk tetap optimis dan tidak pernah menyerah dalam menghadapi tantangan hidup. Hal ini membuat Ahmad menjadi sosok yang dikagumi oleh banyak orang. Akhir Kata Si Manis Jembatan Ancol , kita bisa menyimpulkan bahwa kebahagiaan sejati tidak selalu berasal dari hal-hal materialistis atau uang. Selain itu, kisah ini juga mengajarkan kita tentang pentingnya bersikap jujur dan memiliki hati yang tulus dalam menjalin hubungan dengan orang lain. Meskipun terkadang terdapat rintangan da...

Novel Jatuh Cinta Lagi


       




" Jatuh Cinta Lagi "


Pukul setengah sembilan pagi aku mengajak ketemu Rendi di sebuah Kedai Mawar di kota. Ia langsung mengiyakan dan menuju ke sini.

Sepuluh menit menunggu akhirnya dia datang juga. Ia celingukan mencari keberadaanku, ku lambaikan tangan agar dia segera menyadarinya.

Dia mengangguk seraya berjalan kearahku, semua pasang mata tertuju padanya beberapa tahun tak bertemu, dia semakin menawan.
Kulitnya yang putih bersih, perawakan tinggi dengan badan sedang, dada bidangnya di balut dengan kemeja surfing dan celana baggy tak lupa memakai sepatu. Dia terlihat sangat tampan dan keren berbeda denganku, aku terburu-buru jadi hanya memakai kaos pendek dengan jaket dan celana tidur lengkap dengan sandal jepit.
Ah... malunya.

Semua orang terlihat berbisik-bisik, menatap remeh ke arahku, bergantian menatap Rendi pula. Mungkin mereka ilfeel melihat penampilanku. Aku hanya bengong menatapnya.

"Gantengnyaaa...." batinku.

"Kamu udah lama nunggu?" aku terperangah, mata ini sulit berkedip diiringi senyuman khasnya dia melambaikan tangan di depan mukaku.

Aku terlonjak kaget, baru menyadari apa yang barusan terjadi,

"Ka-kamu bilang apa tadi?" aku jadi gugup berhadapan dengannya.

Dia tersenyum lalu duduk tepat disampingku. Aku jadi risih dengan tatapan orang-orang di Kedai, tapi kuabaikan karena aku mau membahas hal penting dengan Rendi.

"Kok bengong, kamu udah pesan?"

"Belum, nunggu kamu." Ia lantas memanggil pramusaji dan memesan beberapa makanan ringan dan minuman.
Aku gugup, tidak menyangka dia sangat berbeda dengan dulu waktu sekolah.

"Apa kamu juga kangen kok tiba-tiba mengajakku ketemu di sini?" Candanya membuatku kesal.

"Gak, aku mau minta tolong kamu," "tolong kamu tanyakan pada temanmu yang pengacara, jika suami meninggal bagaimana kepemilikan rumah yang jadi aset satu-satunya, adik almarhum suamiku ingin meminta rumah itu, tapi rumah itu hasil kerja kami berdua setelah menikah, sekarang dia lagi nungguin aku dirumah minta sertifikat rumah!" ujarku pada Rendi.

"Oh, gitu, bentar aku hubungi temanku dulu."

Pesanan kami datang, kamipun melahap kentang goreng dan meminum soft drink yang tersaji di atas meja.

Ia lantas menghubungi temannya lewat chat, dia terlihat sangat serius.

Tiba-tiba HP-ku berbunyi membuatku terperanjat karena aku sedang memandangi wajah Rendi dari dekat, kulihat di layar HP tertera nama "Mantan Bumer", kuangkat malas "pasti ini Rasti!"

Rendi menanyakan siapa yang menelponku akupun memberitahu jika ia mantan iparku. Lantas Rendi menyuruhku merekam pembicaraan kami. Ku iyakan saja dan mengangkat teleponnya,

"Mbak kamu lama banget sih! cepetan pulang kalo nggak rumah ini beneran aku acak-acak!" katanya mengancam.

"Apasih ,Ras? rumah itu punya Mbak, sertifikat juga udah namaku, jadi kamu jangan ikut campur harta peninggalan Mas mu, Ibu juga udah setuju kan kalo rumah itu aku tempatin sampai aku tua nanti!" kataku geram.

"Aku gak mau tau mbak, mbak serahin aja sertifikatnya sekarang!" "kalo gak cepet-cepet pulang aku bakal dobrak pintunya, aku cari sendiri sertifikatnya!".

"Kalo kamu berani silahkan!"

"Oke, siap-siap kamu keluar dari rumah ini!" ucapnya percaya diri.

Tut sambungan terputus. Aku menghela napas panjang, tak habis pikir kenapa Rasti jadi nekat.

Rendi kemudian memberi usul, ide yang akan membuat iparku cukup kapok. Aku mengiyakan sambil tersenyum jahat.

Terlihat dia menelepon seseorang dan mengatakan sudah beres.

"Kamu tenang aja udah beres," "yuk ke rumahmu."

"Ngapain kan belum selesai?" tanyaku heran.

"Kita nikah." ia mendekatkan tubuhnya, jarak kami hanya 10 centimeter lantas ia tersenyum di dekat pipiku, aku yakin pipiku sekarang sudah seperti tomat, sesaat aku diam dan menatapnya kembali, aku ingin melihat adakah kebohongan atau keseriusan dari sorot matanya.

Aku lalu mendorong tubuhnya pelan.

"Apasih malu dilihat orang," aku tersipu malu dan membuang muka kearah lain.

"Hehehe, ya ya, kita beresin urusan rumah kamu terus kita nikah. Gimana?"

"Ya udah, yuk." aku beranjak mengambil HP di meja dan melenggang meninggalkannya.

"Ayuk, ke KUA ya?" candanya lagi.

Tak kuhiraukan ucapannya, aku berlari kecil keluar Kedai. "Bisa diabetes gue lama-lama di deketnya." batinku menutupi wajahku yang memerah.

"Tunggu bentar, Ra!" teriak Rendi masih terdengar samar.

Ku menengok kebelakang ia sibuk membayar di kasir lalu berlari kecil mengejarku yang diam mematung menunggunya diparkiran.

Ia agak membungkuk meletakkan kedua tangannya di lutut, napasnya terdengar ngos-ngosan.

"Yuk bareng aku aja." katanya kemudian.

"Nggak usah makasih, aku mau langsung ke rumah Ibu setelah urusan beres."

"Ya udah, kamu jalan duluan aku ikutin dari belakang."

******

Kami tiba di rumahku, aku disuguhkan pemandangan kerumunan orang dan suara kegaduhan, aku merangsek masuk ke kerumunan itu di ikuti Rendi mengekor di belakangku.

Ditengah-tengah ada Rasti sedang adu mulut dengan salah satu Polisi, ada dua Polisi lagi yang satu bersiap dengan borgol di tangan, dan yang satu berjaga di depan pintu rumahku.

Aku pun melihat Rendi dan dia tersenyum seraya mengedipkan matanya sebelah, aku belum paham apa maksudnya.

Lantas ku bertanya pada salah satu Pak Polisi yang sedang berdebat dengan Rasti.

"Maaf Pak, ada apa ya? kok ribut-ribut di rumah saya?"

"Apa mbak benar pemilik rumah ini?" tanyanya, "saya dapat laporan bahwa rumah mbak sedang di satroni maling, dan Mas serta Mbak ini berkata bahwa Mbak ini pemilik rumah ini." Pak Polisi menunjuk Rasti juga seorang lelaki.

"Wah ... ja...." belum sempat selesai ku menjawab Rasti menyela,

"Dia ini mantan ipar saya Pak, jadi saya berhak dong Pak kesini dan tinggal di sini?!" katanya.

Pak Polisi kebingungan mendengar penuturan Rasti.

"Tolong dijelaskan mbak, apa yang sebenarnya terjadi." ucap Pak Polisi tegas menatapku.

Mereka yang sedang menonton pertunjukan ini seketika diam lantas berbisik-bisik, ada juga yang pergi.

"Dia memang "Mantan Adik Ipar" saya Pak, tapi dia tidak tinggal di sini, buktinya dia gak punya kunci rumah saya berarti dia ada niat jahat dong Pak, dia juga mengancam saya ditelepon katanya akan merusak rumah saya!" "saya ada buktinya, bawa saja dia ke Kantor Polisi Pak karena dia bukan keluarga saya, saya tidak ada hubungan darah, dan dia hanya orang lain yang ingin menguasai rumah saya!" kataku tegas penuh penekanan.

Rasti terbelalak mendengar penuturanku, ia membela diri,

"Rumah ini masih menjadi hak saya Pak,"

"Sebaiknya Mbak jelaskan di Kantor saja" dia berbicara pada Rasti "dan mbak juga berikan keterangan di Kantor." lalu menatapku.

"Awas kamu Tiara, !!" ancamnya tanpa sebutan "Mbak" lagi.

"Baik, Pak." ucapku datar, ada perasaan lega karena dia tidak berhasil mengacak-acak rumahku, tapi aku harus memberikan keterangan ke Kantor Polisi.

Dia dan teman lelakinya digiring menuju mobil Polisi lantas meninggalkan kami.
Orang-orang tadi lalu membubarkan diri tanpa ku suruh.

"Makasih ya Ren," ucapku pada Rendi, hanya tinggal kami berdua di teras rumahku.

"Iya, yuk," ajaknya dengan senyuman.

"Kemana?"

"Ke hatiku," aku sudah mau menjawab tapi dia langsung berujar "ya ke Kantor Polisi lah hehe."

"Hehehe iya, kamu pulang aja gak papa".

Dia menundukkan kepalanya di depan wajahku lalu bertanya,

"Emang kamu bisa nyelesein ini sendiri."

"Emmm... bisa Insyaallah."

"Udahlah, nanti pasti kamu butuh aku disana, yuk berangkat, udah di tungguin." ucapnya duduk dijok motor depan lalu memintaku untuk duduk dibelakangnya.

"Sini, sama aku aja biar cepet!" ucapnya sambil menepuk jok motor belakang.

"Yaudah deh kalo gitu." aku mengunci motor lalu melangkah menuju motornya dan naik ke jok belakang.

Kamipun bergegas menuju Kantor Polisi. Dijalan Rendi memintaku untuk berpegangan erat supaya aku tidak terjatuh, tapi aku sudah hapal itu hanya akal-akalannya saja.
Tiba-tiba dia mengerem motornya mendadak, tubuhku menabraknya lumayan keras, ternyata lampu merah,

"Aaw" dia menoleh, aku malu sekali,

"Maaf ya." aku meringis lantas menjauhkan tubuhku dari punggungnya dan mengatupkan kedua tanganku.

"Makanya pegangan dong," kedua tangannya mencari tanganku yang kusembunyikan di belakang pinggangku, tapi dia meraihnya dan meletakkan kedua tanganku melingkar di perutnya.

Tangannya satu memegangi kedua tanganku agar tak kulepaskan sedangkan tangan satunya lagi memegang stang motor.

Aku sungguh malu karena kami menjadi tontonan orang yang juga menunggu lampu merah berganti hijau. Tapi dia malah tersenyum menanggapi tatapan mereka.



#novel #jatuhcintalagi

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara Verifikasi Foto e-KTP Kartu Prakerja

Tokoh utama dalam cerita Si Manis Jembatan Ancol

Mengenal Jenis Jenis Awan Yang Ada Di Langit