Baca

Tokoh utama dalam cerita Si Manis Jembatan Ancol

Gambar
Tokoh utama dalam cerita ini adalah seorang pemuda bernama Ahmad. Dia dikenal sebagai seseorang yang jujur, pekerja keras, dan cerdas. Ahmad tumbuh dalam keluarga yang sederhana namun penuh kasih sayang. Ayahnya seorang petani sedangkan ibunya seorang guru di sebuah sekolah dasar. Ahmad selalu tekun belajar dan memperoleh nilai yang sangat baik di sekolah. Ia juga rajin membantu orang tua di sawah dan selalu siap membantu orang yang membutuhkannya. Meskipun hidup dalam keadaan yang sulit, Ahmad selalu berusaha untuk tetap optimis dan tidak pernah menyerah dalam menghadapi tantangan hidup. Hal ini membuat Ahmad menjadi sosok yang dikagumi oleh banyak orang. Akhir Kata Si Manis Jembatan Ancol , kita bisa menyimpulkan bahwa kebahagiaan sejati tidak selalu berasal dari hal-hal materialistis atau uang. Selain itu, kisah ini juga mengajarkan kita tentang pentingnya bersikap jujur dan memiliki hati yang tulus dalam menjalin hubungan dengan orang lain. Meskipun terkadang terdapat rintangan da...

Novel Penumpang Misterius


       




 " Penumpang Misterius "


"Yan, bulan depan minggu pertama, Neni menikah. Mama sama keluarga di sini minta doa nya, ya?" ucap mama mertua dari ujung telepon.


"InsyaAllah Yani usahakan datang, Ma," jawabku. "Tapi nanti berangkat sendiri, karena Lala akan ujian sebentar lagi, Abang baru saja cuti," lanjutku.


"Iya, Abang juga sudah bilang tidak bisa datang."


Suara mertua terdengar sedih, ketika menceritakan kalau suami, tidak bisa hadir dalam pernikahan adik bungsunya.

Setelah menutup telepon, aku bergegas melihat kalender yang tergantung di dinding.

Hari pernikahan adik iparku, kurang 5 hari dari sekarang. Itu artinya, aku harus secepatnya booking tiket.


Aku memutuskan untuk pergi ke agen bis antar provinsi siang itu juga.

Setelah menempuh perjalanan sekitar tiga puluh menit, sampailah aku di salah satu agen tiket langganan.


"Mbak, lewat jalur selatan mau? Nanti lewat tol Cipali," ucap mbak penjual tiket.


"Yang langsung lewat jalur pantura, ga ada, ya?" tanyaku.

Karena aku belum pernah lewat jalur selatan, membuatku meminta untuk lewat jalur pantura saja. Selain belum tahu di mana harus turun nantinya.


"Ada, Mbak, kelas VIP, yang executive kosong. Itupun nanti akan pindah ketika berada di Solo, di kantor pusat. Dari sana, sampeyan akan pindah di oper," jelas si Mbak.


"Ga apa-apa, deh. Dari pada harus lewat tol Cipali, jauh," ujarku menyetujui.

----

Di hari keberangkatan, pukul 11.30 aku sudah sampai di meeting point/agen tiket tempat aku membeli tiket, menunggu kedatangan bis yang akan membawaku bersama belasan penumpang lain.


Pukul 12.15 bis pun datang.

Aku mencari kursi yang sesuai dengan nomer yang tertulis di tiket. Dua baris di belakang supir. Karena aku duduk sendiri, membuatku leluasa bergerak, terlebih bis yang lumayan nyaman.


Mengingat perjalanan yang kutempuh cukup jauh, aku memutuskan untuk tidur setelah kodektur membagikan air mineral dan snack serta selimut dan bantal.


Tanpa terasa, bis yang kutumpangi sudah masuk wilayah Jawa Tengah, dan menjelang magrib, sudah berada di Solo, kantor pusat di mana aku akan pindah bis untuk meneruskan perjalanan menuju Subang.


Setelah menunaikan salat magrib, aku menuju restoran yang disediakan untuk makan malam.

Melakukan perjalanan sendiri, memang lebih leluasa, namun sedikit membosankan, karena tidak ada teman untuk menemani ngobrol, terlebih di jaman, ketika kita lebih suka melakukan sesuatu dengan mengetik daripada berbicara.


Akhirnya, aku diarahkan untuk masuk ke dalam bis pengganti yang akan membawaku.

Rata-rata penumpangnya menuju Bogor dan Jakarta. Dari apa yang ku tahu dari kondektur saat mengabsen, hanya aku yang turun di Subang, dan seorang ibu dan anak balitanya yang turun di Cirebon.


Setelah penumpang lengkap, bis pun bersiap meninggalkan kota Solo.

Namun sebelum bis berjalan, seorang pemuda dengan lincah naik. Dia berjalan pelan sambil matanya memperhatikan tiket. Mungkin mencari nomer tempat duduknya.


Lalu, dia berhenti tepat di sebelah kursi dimana aku duduk. Matanya menatapku, seolah mengatakan kalau kursi yang aku duduki adalah tempatnya.

Dengan cepat, aku bergeser ke kursi dekat jendela.


Pemuda itu perlahan duduk dan menyandarkan punggungnya.

Akan tetapi, setelah beberapa saat, kondektur tidak datang untuk memberinya bantal atau selimut seperti kepada penumpang lain, hawa AC di dalam bis yang cukup dingin, membuat pemuda yang duduk di sebelahku menyilangkan kedua tangannya di dada. Mungkin dia merasa kedinginan, karena hanya mengenakan kaos ketat berwarna biru tua yang dipadankan celana kargo warna khaki, membuat otot dilengannya menonjol.


"Mas, kenapa ga minta selimut sama bantal sama kondektur?" tanyaku membuka percakapan.


Dia menoleh, lalu tersenyum sambil berkata, "Tidak apa-apa, 'Teh', sudah biasa kok," ucapnya. "Panggil saja saya Rangga," lanjutnya sambil memperkenalkan namanya.


"Iya, baiklah," ujarku. Dia mengangguk sambil tersenyum.


"Teh, bisa ditutup gordennya?" pinta Rangga sambil menunjuk ke gorden di sebelahku.


"Iya," jawabku singkat sambil menarik gorden.


Bis menjadi lebih gelap, karena hanya di terangi beberapa lampu saja membuatku sedikit kurang nyaman, terlebih aku tidak terbiasa dalam gelap.


Gorden yang tersingkap membuat cahaya lampu jalan, menerobos masuk, membuatku bisa melihat dengan jelas wajah pemuda yang duduk di sebelahku.

Wajahnya tampan, dengan kulit bersih dan wajah yang tegas, walau terlihat sedikit pucat. Atau mungkin karena kelelahan.


"Teteh mau turun di mana?" tanya Rangga membuka percakapan.


"Saya turun di Sukamandi, kalau kamu?"


Rangga tidak menjawab, membuat suasana kembali hening. Setelah beberapa saat, Rangga kembali berkata, "Berarti kita searah, tapi saya turun duluan."


"Oh, begitu, ya?" Aku menjawab, sambil berpikir, mungkin dia akan turun di Cirebon atau Indramayu.


Waktu menunjukkan pukul 12.30, ponselku bergetar, sepertinya ada pesan yang masuk. Ternyata benar, Abang menanyakan posisiku saat ini.


"Masih di daerah Semarang, Jawa Tengah," balasku dengan cepat.

***


Sepertinya aku tertidur, dan terbangun ketika suara kondektur membangunkan para penumpang untuk beristirahat dan makan malam. Kuambil ponsel untuk melihat jam, ternyata sudah pukul 2.15 menit.


Kulirik kursi sebelah, dimana pemuda itu duduk, tapi kosong. Mungkin dia sudah turun duluan.

Aku pun turun bersama penumpang yang lain.


"Kita sampai di mana, Pak?" tanyaku pada sopir yang berdiri di dekat pintu.


"Di Batang, Mbak," jawabnya.


Aku mencoba mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan, mencari sosok pemuda yang duduk di sebelahku, namun tidak kutemukan.


Setelah beberapa saat beristirahat, bis malam yang kutumpangi kembali melanjutkan perjalanan.

Sebelum kondektur menutup pintu, kulihat pemuda itu melompat naik dan berjalan menuju kursi di sebelahku.


"Kamu tadi tidak makan?" tanyaku berbasa-basi.


"Tidak, saya hanya minum kopi," jawabnya. "Ini buat Teteh." Dia mengulurkan sebuah plastik berisi cemilan.


"Terima kasih," ucapku, lalu menerima kantong plastik tersebut.


"Teteh kok sendirian, suaminya ga ikut?"


"Iya, suami sedang bekerja," jawabku.


Suasana kembali hening, hawa dingin dari pendingin ruangan membuatku merasa ngantuk.


"Tetah mau ke Subang, ya?" Kembali Rangga bertanya.


"Iya, bener. Adik ipar saya mau menikah," jawabku.


"Kamu sendiri, turun di mana?" tanyaku.

Namun, lagi-lagi Rangga tidak menjawab, dia sepertinya bingung, dan aku memutuskan untuk tidak lagi bertanya.


"Saya turun sebelum Teteh, kok. Tapi nanti pulang, kita akan ketemu lagi," ucapnya kemudian.


"Ketemu lagi?" pikirku bingung.


Setelah itu, aku kembali tertidur. Dan terbangun lagi saat bis berjalan lambat, ternyata sudah masuk tol Palimanan. Yang artinya sudah meninggalkan Jawa Tengah dan masuk Jawa Barat. Kulirik pemuda yang duduk di kursi sebelah, dia tertidur dengan posisi membelakangiku.


Biasanya, jika sudah melewati tol Palimanan, aku tidak bisa tidur lagi, dan akan terjaga hingga sampai ke tempat tujuan. Aku ingat, ada seorang ibu dan anaknya, yang akan turun di Cirebon, dia minta di turunkan di rest area, karena akan di jemput di sana.


Seorang ibu dan balita turun di temani kondektur, bis berhenti beberapa saat, memastikan kalau ibu dan balitanya benar-benar sudah di jemput sama keluarganya, mengingat sudah lewat tengah malam. Aku salut sama P.O bis satu ini, rasa tanggung jawab terhadap penumpang sangat tinggi.


Bis kembali berjalan, hingga tanpa terasa sudah memasuki kota Indramayu.

Dari toa masjid, lamat-lamat terdengar Adzan.

Entah kenapa, mataku terasa begitu mengantuk hingga aku tertidur.

***


"Yang mau Salat, atau ke kamar mandi, monggo turun."


Suara serak kondektur membangunkanku. Bis menjadi terang ketika lampu kembali dinyalakan. Namun, Rangga yang duduk di sebelahku sudah tidak ada.


"Mas, orang yang duduk di sebelah saya sudah turun, ya?" tanyaku pada kondektur yang ada di depanku.


"Siapa, Mbak? Wong Mbak e dari Solo duduk sendiri kok," jawabnya sambil berlalu.


Aku tidak begitu menghiarukan ucapan kondektur, dan berpikir mungkin dia lupa.


"Yang duduk di dekat sampeyan, aku, Mbak," seloroh seorang bapak yang duduk di deretan sebelah.

Aku tersenyum kecut menanggapi candaannya.

Bis kembali melanjutkan perjalanannya, namun Rangga tidak lagi ada di kursi sebelah, mungkin dia sudah turun ketika aku tertidur tadi.

***


Waktu menunjukkan pukul 05.00 ketika aku turun dari bis.

Kulihat Udin, lari tergopoh-gopoh menghampiriku. Udin adalah sepupu suami yang di suruh menjemputku.


"Apa kabar ,Teh, damang?" Udin menghampiriku sambil bertanya kabar.


"Alhamdulillah, sehat," jawabku.


Hanya butuh waktu lima menit untuk sampai ke rumah mertua. Sebenarnya, aku lebih suka berjalan kaki, karena aku bisa mampir ke pasar sambil membeli sarapan untuk di bawa pulang.


Mertua sudah menunggu kedatanganku, seperti biasa, akan menangis sambil memelukku. Beliau tinggal sendiri di rumah, semua anak-anaknya sudah menikah dan punya rumah sendiri, termasuk si bungsu, dia tinggal di Bandung, dan pulang ke rumah ketika cuti.


Persiapan pernikahan bungsu sudah selesai, tinggal menunggu kedatangan calon pengantin laki-laki untuk melakukan ijab kabul.

Mama sedih, karena aku hanya datang sendiri, dan ingin sekali bertemu Lala. Namun beliau maklum, Lala tidak bisa ikut karena akan ujian.

***


Acara pernikahan berlangsung lancar, si bungsu langsung di boyong ke rumah pengantin pria sekaligus bulan madu.

Saudara dan tetangga sudah kembali ke rumah masing-masing, tinggalah aku bersama mertua yang berada di rumah.

Tadi sebelum kakak ipar pulang, bilang akan ke sini lagi besok sebelum aku pulang.


Aku merapikan baju lalu memasukkan ke dalam tas, ada beberapa oleh-oleh yang di berikan mertua dan kakak ipar yang akan kubawa pulang.

Mataku tertuju pada kantong plastik berisi snack. Ah, aku ingat, itu adalah kue pemberian rangga waktu itu.

Aku kembali memasukkan plastik tersebut ke dalam tas tanpa melihat isinya.

***


Pukul 16.45 bis yang akan membawaku pulang datang.

Tidak banyak penumpang di dalamnya.

Aku langsung memejamkan mata untuk mencoba tidur. Perjalanan bolak-balik yang sangat melelahkan.


Benar saja, aku tertidur sepanjang perjalanan. Hnggga aku tidak menyadari kalau bis sudah meninggalkan tanah Sunda. Hal itu aku ketahui ketika bis berhenti untuk makan malam di sebuah restoran di Batang, Semarang.


"Kita ketemu lagi, kan Teh ...." sebuah suara mengagetkanku.

Aku yang saat itu tengah 'browsing' akun media sosial langsung menoleh arah suara tersebut.


Seorang pemuda tampan, tersenyum padaku, lalu duduk di sebelahku. Dia masih mengenakan baju yang sama dengan baju yang dia pakai tiga hari yang lalu, dia adalah Rangga.


"Kamu ... kamu naik bis itu juga?" tanyaku bingung.

Rangga mengangguk.


"Kamu mau pulang juga?" tanyaku lagi, dia mengangguk.


"Apakah urusannya sudah selesai?" tanyaku. Mungkin ini terdengar kepo.


"Belum," lirih dia menjawab sambil menggeleng. Raut wajahnya terlihat sedih, hingga membuatnya semakin terlihat pucat.


"Ah, mungkin dia dalam masalah," bisik hatiku.


"Jangan khawatir, Teh, kita akan bertemu lagi nanti," ucapnya cepat. Yang membuatku sedikit melongo.


Sepertinya perjalanan pulang memang selalu terasa lebih cepat di banding berangkat.

Tanpa terasa, bis sudah memasuki wilayah Ngawi, Jawa Timur sebelum subuh.


"Teh, ini oleh-oleh buat kamu."

Rangga mengulurkan plastik yang sama dengan yang pernah dia berikan sebelumnya.


"Terima kasih, ya?" ucapku.


Mungkin ini adalah kebiasaanku setiap kali naik bis malam, tertidur menjelang subuh.

Dan akan terbangun saat mendengar suara kondektur memberi pengumuman untuk beristirahat.


Pukul 4.30 bis sudah sampai di Madiun.

Kulirik Rangga yang tadi duduk di sebelahku, kursi itu kosong. Mungkin dia sudah turun.


"Mbak, apakah ada yang duduk di sebelah saya?" tanyaku hati-hati pada gadis yang duduk di dereten bangku sebelah.


Kulihat dia menatapku heran, sambil berkata, "Ga ada, Mbak. Kan duduknya satu-satu, ga boleh berdua, jaga jarak."


Aku bengong, jawaban gadis itu benar dan membuatku sadar, kalau semua penumpang duduknya sendiri-sendiri. Aku melihat kantong plastik yang di berikan Rangga, lalu membukanya.


Satu plastik potato chip, lalu merogoh tas dan mengambil kresek yang pernah dia berikan sebelumnya, sama, isinya snack kentang berukuran besar dengan merek yang sama.

Aku memperhatikan semua penumpang, benar, mereka duduk sendiri-sendiri.


Keringat dingin tiba-tiba membanjiri tubuh, meski bis sudah terpasang pendingin.

Apakah ....?


Bersambung.


#Novel #penumpangmisterius

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara Verifikasi Foto e-KTP Kartu Prakerja

Tokoh utama dalam cerita Si Manis Jembatan Ancol

Mengenal Jenis Jenis Awan Yang Ada Di Langit