Tokoh utama dalam cerita Si Manis Jembatan Ancol
Jungkir Balik Dunia Sabira
Sabira penyuka drama Korea. Selain karena alur ceritanya yang bagus, bagi gadis dua puluh tahun itu menonton drakor sama dengan hiburan. Dia bisa tertawa saat melihat salah satu adegan. Dia bisa tersenyum hanya dengan melihat interaksi antar pemainnya.
Tersenyum dan tertawa yang benar-benar tulus dari hati. Bukan sekadar tarikan bibir semata, seperti yang kerap dia lakukan selama ini.
Orang-orang yang hanya tahu sekilas tentang Sabira mungkin akan menganggap dia beruntung. Berwajah cantik, punya ayah seorang anggota legislatif, dan punya tunangan kaya raya. Faktanya itu hanya tipuan semata, hanya sekilas gambar untuk dimuat media.
Cukup sering Sabira harus berpura-pura tersenyum di depan kamera, memamerkan keluarga yang seolah sebahagia itu. Meski kenyataannya, semua seketika berubah setelah siaran usai. Keluarga Angga Hanum yang dikabarkan amat harmonis itu hanya ada di layar kaca.
Ayahnya, Angga Hanum terlalu sibuk keliling negeri untuk mencari simpati. Visi agar terpilih lagi tahu depan membuatnya punya agenda “Temu Wong Cilik” yang mengakibatkan nyaris tidak ada waktu untuk Sabira.
Seruni, sang ibu lebih banyak mengadakan arisan bersama teman sosialitanya. Kunjungan ke luar negeri sudah serupa kunjungan kerja. Imbasnya Sabira hanya berteman asisten rumah tangga. Namun begitu, Sabira harus selalu mengatakan bahwa kedua orang tuanya tak pernah lupa memberi kabar, tak pernah alpa meneleponnya.
Seakan belum cukup semua sandiwara itu, sekarang Sabira harus kembali memamerkan senyum palsunya. Senyum di depan awak media yang merekam pertunangannya.
“Mbak Sabira, boleh kasih liat cincinnya?”
Suara seorang reporter berseragam hitam dengan logo salah satu stasiun TV mengembalikan fokus Sabira. Gadis itu mengangkat tangan kirinya setinggi dada, memamerkan cincin bertakhta berlian di jari manisnya. Cincin yang baru saja disematkan oleh Ayyas Alfatih, lelaki yang Sabira kenal dua bulan ini.
“Kenapa lo mau tunangan sama gue?” tanya Sabira di pertemuan kedua mereka. Orang tua mereka baru saja mencanangkan pertunangan itu.
Ayyas mengangkat bahu sekilas. “Gue udah males dikejar-kejar cewek di kampus,” jawabnya enteng.
Hal yang membuat Sabira melebarkan kelopak mata, syok. Dia pikir Ayyas punya alasan khusus yang lebih masuk akal.
“Lo sendiri kenapa?” tanya Ayyas balik, “naksir ama gue?”
Lagi, Sabira harus melebarkan mata. Lelaki di depannya itu narsis sekali pikirnya.
Alasan ... terlalu sering menuruti skrip sandiwara dari sang ayah membuat Sabira tidak bisa lagi protes saat wacana itu diusulkan. Sabira pikir itu hanya bagian formalitas, toh ke depannya nanti hidupnya akan biasa saja. Hanya jarinya yang mengalami penambahan sesuatu, selebihnya tidak.
Sabira sudah khatam tersenyum palsu di depan khalayak ramai. Sabira sudah khatam memuja-muji ayah dan ibunya di depan wartawan. Jadi, bukan hal yang sulit untuk berperan layaknya tunangan Ayyas.
Sayangnya, ada satu hal yang tidak dia siapkan, menjadi sepasang kekasih berarti harus siap pamer kemesraan.
Sabira kaget saat wartawan menyuruhnya mendekat ke arah Ayyas. Belum habis kekagetannya, saat tiba-tiba tangan lelaki bertuksedo hitam itu meraih pinggangnya, membuat jarak mereka tiada.
“Oke, bagus, siap, ya, satu ... dua ... smile!”
Untuk pertama kalinya senyum sandiwara Sabira tak semulus biasanya.
“Lo senyum apa mau buang air?” bisik Ayyas di samping telinga Sabira.
Gadis berhijab itu nyaris menekankan ujung heels-nya ke kaki Ayyas andai tidak ingat peran yang harus dia mainkan. Alhasil dia mengganti itu dengan mencubit kecil kulit tangan Ayyas yang berada di pinggangnya. Praktis giliran Ayyas sekarang yang tersenyum kaku.
“Lo senyum apa nahan kentut?” balas Sabira.
Setelah sesi pemotretan, acara dilanjut dengan wawancara. Pertunangan dua anak dari orang tua tak biasa itu akan dimuat di kanal-kanal berita baik televisi maupun internet.
“Pak Angga, apa benar pertunangan ini hanya sekedar pertunangan bisnis antar dua keluarga?” tanya salah satu wartawan.
“Ah ....” Yang ditanya segera mengibas tangan di depan wajah. “Gosip seperti itu, kan, biasa. Tanyakan, saja sama anak-anak kami. Saya sih, ngikutin mau putri semata wayang saya saja.” Lelaki berperut agak buncit itu menunjuk Sabira.
“Jadi, Cuma gosip, ya, Pak? Bagaimana tanggapannya Pak Devan?” Kali ini pertanyaan ditujukan untuk ayahnya Ayyas.
Devan, pemilik perusahaan makanan ringan itu berdehem. “Kasian dong anak-anak kami kalau harus dipaksa,” katanya, “Saya selaku orang tua Ayyas sebisa mungkin mendengarkan pendapatnya setiap mengambil keputusan.”
“Benar begitu Mas Ayyas?” Kini kamera tertuju pada pemuda dua puluh satu tahun itu.
Kini semua mata tertuju pada pasangan muda. Poros dari terselenggaranya pesta. Para hadirin yang kebanyakan adalah relasi dari Devan dan Angga pun mengalihkan perhatian. Melupakan sejenak aneka hidangan dan minuman yang tersedia. Menjeda obrolan seputar penampilan teman sampai pembahasan serius lainnya.
Ayyas berbagi tatap dengan Sabira, seolah saling melempar kode siapa yang akan angkat bicara. Sejurus kemudian pemuda beriris coklat gelap itu berdehem. “Pertunangan ini ....” Ada jeda yang sengaja lelaki itu ambil, mengarahkan tatapan ke sepenjuru halaman yang telah disulap sedemikian rupa. Menatap mata-mata haus informasi dan keingintahuan tingkat tinggi, seolah apa yang akan disampaikan Ayyas teramat penting bagi mereka.
Lalu dia melarikan netra kepada para orang tua yang berdiri di sampingnya. Wajah-wajah semringah yang tak henti menampilkan senyum di depan kamera.
Ayyas kembali fokus pada para pencari berita yang rata-rata berseragam hitam. “Tentu saja atas mau kami berdua. Iya, kan, Sayang?” Dia menunduk, menatap Sabira yang hanya setinggi telinganya meski telah memakai high heel.
Sabira menarik sudut-sudut bibir membentuk lekukan bulan sabit. “Iya ... Sayang,” balasnya kemudian. Lantas kembali menghadap ke depan. Memasang senyum termanis.
Tepuk tangan pun bergemuruh. Meski ada beberapa orang yang saling berbisik.
“Boleh ceritakan sedikit perjalanan cinta kalian? Siapa yang lebih dulu jatuh cinta?” Dasar pemburu berita, mereka masih terus menggali informasi. Semakin banyak yang mereka dapat, setara dengan kejayaan kariernya.
Baik Ayyas dan Sabira saling pandang. Lagi, melempar isyarat lewat bahasa tubuh.
Deheman dari Angga menginterupsi. “Minggu depan akan ada sesi wawancara eksklusif bersama Ayyas dan Sabira. Teman-teman wartawan bisa menanyakan itu nanti. Sekarang bagaimana kalau membiarkan mereka istirahat? Jadwal mereka padat seharian ini,” ucap Angga panjang.
Beberapa mengangguk paham. Sebagian yang lain mengeluh kecewa. Kisah cinta sepasang muda-mudi tentu akan menjadi head line news tersendiri. Siapa yang tidak kepo dengan kisah sepasang anak manusia yang membuat iri? Lelaki gagah pewaris kekayaan melimpah bersanding dengan gadis rupawan pemilik keluarga tanpa cela, jelas adalah magnet tersendiri. Serupa kisah dalam novel roman yang hanya bisa dikhayalkan.
***
“Sumpah! Ayyas ganteng banget!”
Untuk ke sekian kalinya Sabira memutar bola mata. Gadis berambut sebahu di sampingnya itu sudah lebih dari tiga kali memuji Ayyas. Seolah dia adalah pangeran dari negeri dongeng yang menjadi nyata.
“Aduh, Ra, kenapa sih gue gak diundang?” Eva menoleh sebentar kepada Sabira. Lalu kembali menekuri layar ponsel yang menampilkan laman salah satu situs berita elektronik itu. “Abis libur, tau-tau tunangan aja,” gerutu Eva panjang.
Pertunangan Ayyas dan Sabira menjadi trending topik pagi ini. Wajah keduanya memenuhi time line semua media sosial. Sudah tidak terhitung teman-teman kampus yang memberi ucapan selamat pagi ini. Pun raut sedih dari beberapa mahasiswi yang kehilangan pujaan hati.
“Lu mau gabung sama orang-orang yang hobi ngomongin politik dan saham?” Baik Sabira maupun Ayyas sama-sama sepakat untuk tidak mengundang teman-teman kampus. Enggan menambah sandiwara. Beralasan bahwa hanya kerabat dan relasi kerja kedua keluarga yang hadir. Meski pada kenyataannya ada banyak orang yang tidak Sabira kenali. Wartawan yang menyajikan berita itu misalnya.
“Gak papa deh asal bisa liat Ayyas mode begini,” jawab Eva lebay.
Penampilan Ayyas semalam memang berbeda dari biasanya. Jika hari-hari dia membiarkan rambutnya berantakan dipermainkan angin, semalam surai hitam itu diberi pomade dan disisir rapi. Mengekspos wajah Ayyas yang bersih dan rupawan. Tak lupa setelan jas lengkap yang menambah kesempurnaan tampilan.
“Lo beruntung banget tau gak, Ra?” Kali ini teman satu fakultas Sabira itu mengalihkan perhatian sepenuhnya. “Kok lo gak pernah cerita sih kalau pacaran sama Ayyas?”
“Kita gak pacaran.” Sabira mengulum bibir, baru tersadar jika dia kelepasan bicara. Ya, tidak ada satu makhluk pun yang tahu tentang sandiwara Sabira. Termasuk kepada Eva, teman yang bisa dibilang lumayan dekat. Tapi tidak sedekat itu untuknya berbagi cerita personal.
“Terus?”
Sabira memutar otak, berusaha merangkai cerita agar terdengar logis. “Backstreet ... kita backstreet.” Sabira mengangguk-angguk sendiri.
“Sama aja keules, yang gue tanyain tu kok lu gak cerita apa-apa ke gue?” Dia mencondongkan tubuh, menuntut jawaban cepat dari Sabira.
Gadis berhijab salem itu menggaruk kepalanya yang tak gatal. Dia sama sekali belum mempersiapkan cerita untuk kisah cinta palsunya dengan Ayyas. Mereka belum membahas hal itu lebih lanjut. Jika dia asal menjawab dikhawatirkan akan ada ketidaksinkronan.
Namun, sebelum Sabira menemukan jawaban yang tepat, Eva lebih dulu bersuara. “Eh, eh, ini kok ada berita gini, sih?”
Sabira mencondongkan kepala, menilik ponsel Eva yang menampilkan laman berita dengan tajuk, AH Diduga Tercatut Korupsi Dana BLT. Di bawahnya tertulis keterangan sosok AH yang menjurus Angga Hanum.
Sabira menelan ludah, tidak mungkin kan, ayahnya terlibat korupsi?
#Novel #Sabira
Sekian.
Komentar
Posting Komentar