Tokoh utama dalam cerita Si Manis Jembatan Ancol
Dua tahun berlalu setelah pengadilan mengesahkan perceraian itu, dan sejak saat itulah hampir tak pernah satu haripun Haris berhasil mengisi kehampaan hatinya.
Seolah terus kosong, meskipun banyak yang mencoba untuk mengisinya. Semua terasa begitu hambar, tak ada yang membuatnya berdebar seperti saat dirinya dulu menatap Bintang. Tak ada yang membuatnya begitu di mabuk kepayang seperti saat Bintang yang hanya menyentuh jarinya.
Tapi rasa itu tak lagi ada, tak seperti dulu. Haris sempat mencoba untuk mengembalikan kembali rasa itu, rasa cintanya yang begitu dalam pada sosok Bintang. Cinta yang begitu besar hingga kemudian membuatnya begitu lelah, lelah akan rasa cinta itu.
Perpisahan yang sama sekali tak pernah terpikirkan akan terjadi di antara dirinya dan Bintang pada akhirnya menjadi kenyataan, memisahkan dua sejoli yang dulunya sempat diberi julukan pasangan paling serasi dan tak terpisahkan oleh teman – temannya.
Kehampaan itu datang setelah tragedy mengerikan yang menghampiri mereka, setelah Ameena, anak mereka yang baru berusia dua tahun itu pergi untuk selamanya dari kehidupan mereka.
Haris tak pernah membayangkan bahwa dia akan merasakan patah hati yang begitu besar kala melihat tubuh pucat dan kaku itu telah terbaring di depannya. Wajah mungil nan cantik yang selalu mengeluarkan warna kemerahan disekitar hidung dan pipinya itu tak lagi menyambut kedatangannya dengan jeritan melengkingnya. Kedua mata itu tertutup, ditambah sebuah lebam pada dahi yang begitu membuat hatinya sakit saat melihatnya.
Tubuh sekecil itu pasti sangat kesakitan saat tak bisa mendapatkan oksigen di dalam sebuah kolam berisi air dengan kedalaman satu meter lebih itu, telinganya mungkin juga terasa sangat sakit hingga masih menyisakan lelehan darah yang keluar dari dalamnya.
Haris tak memperhatikan keadaan di sekitarnya saat itu, fokusnya seolah tersedot pada sosok mungil yang telah diselimuti oleh kain itu, sosok yang tak akan lagi dapat membuka matanya, kedua telinganya juga seakan tertutupi tak mendengar suara apapun lagi di sekitarnya bahkan suara tangisan Bintang sekalipun.
Haris telah masuk dalam dunia kesedihannya sendiri, merasa jika dirinya adalah yang paling tersiksa hari itu, bahwa dirinyalah yang paling patah hati hari itu juga, bahwa separuh nyawanya seolah ikut pergi bersama Ameena kecilnya, princess kecilnya.
Tak menyadari jika pada saat itu ada seorang ibu yang juga hancur hatinya, saat sesosok kecil yang pernah menjadi bagian dalam tubuhnya telah pergi, nyawanya juga seolah menghilang sebagian, kakinya bahkan tak lagi terasa, dunianya seperti berhenti detik itu juga, detik yang paling menyakitkan dalam hidupnya.
Suara pengumuman dari pramugrari bahwa pesawat yang saat ini mereka naiki telah mendarat dengan sempurna di bandara Soekarno Hatta mengembalikan Haris dari lamunan panjangnya.
Pandangannya beralih pada jendela yang ada di sebelahnya, menatap keadaan di sekitar landasan, banyak pesawat yang terparkir pada landasan itu, sekali lagi ditariknya napas dalam, bersiap untuk kembali menginjakkan kaki di tanah pertiwi, tempat yang menyimpan segudang cerita untuknya.
Dua tahun sudah dirinya mengasingkan diri dari segala kehidupan lamanya, meneruskan kembali pendidikannya di negeri kincir angin itu, berharap semua akan kembali pulih. Dua tahun waktu yang ternyata terasa begitu sebentar dilaluinya, meski menyiksa setidaknya kali ini dirinya sudah mantap untuk kembali, bersama keluarganya yang selama ini selalu memintanya untuk pulang.
Keluarga yang dulu sempat menjauhinya hanya karena keputusannya untuk menikahi gadis yang bukan pilihan mereka, memutuskan segala kontak dan menganggapnya bukan lagi bagian dari keluarga.
Namun semua berangsur kembali, saat Haris memutuskan untuk berpisah dengan Bintang. Keluarganya kembali merangkulnya, membawa satu – satunya anak lelaki yang mereka miliki ke dalam istana mereka.
Menyambut baik sebuah perpisahan yang selama ini telah mereka nanti – nanti.
Sesosok perempuan dengan balutan hoodie hitam langsung tertangkap oleh indra penglihatan Haris kala dirinya baru saja melangkahkan kaki pada pintu keluar bandara.
Sesosok perempuan yang kini juga tengah memandanginya dengan pandangan tak bersahabat itu seolah terlihat tak begitu senang dengan kedatangan Haris.
Haris menatapnya dengan seyuman jahil, dirinya tahu jika satu -satunya adik yang ia miliki itu pasti sedang marah padanya. Marah karena ternyata telah ingkar janji padanya, seharusnya Haris sudah kembali sejak seminggu yang lalu namun karena satu dan lain hal akhirnya jadwal kepulangannya tertunda hingga hari ini dan hal itu membuatnya tak dapat menghadiri acara wisuda sang adik yang berlangsung tiga hari yang lalu.
“Ohhh, imutnya adek mas ini,” rayu Haris sembari mengusap rambut sang adik.
Ferran, sang adik hanya diam sembari memancungkan bibirnya.
“Nih,” ucapnya sembari menyerahkan sebuah kunci mobil pada Haris.
“Mas yang nyetir? Mas kan capek baru datang,” ucap Haris namun tetap mengambil kunci mobil itu dari tangan sang adik.
“Iyalah, siapa lagi yang nyetir?” balas Ferran lalu melangkah meninggalkan sang kakak.
Haris berjalan cepat sembari menyeret kopernya, “Ferran lah yang nyetirin, lagian mas udah agak lupa sama jalan pulang.”
Ferran menghentikan langkahnya dengan cepat diikuti juga oleh Haris yang berhenti tepat di sampingnya, “Lupa? Baru dua tahun sudah lupa? Hah?!” ucapnya tak percaya.
Haris tersenyum kecil, merasa begitu gemas dengan raut wajah adiknya sekarang.
“Lagian Ferran gak pulang semobil sama mas, jadi mas sendiri yang nyetir, oke bye,” tambahnya dan kembali melanjutkan langkahnya.
Haris kembali mengejarnya.
“Ferran mau pulang sama siapa?” ucapnya dengan suara sedikit lebih keras.
“Taksi,” jawabnya cepat dan langsung memanggil sebuah sopir taksi yang memang biasa mangkal di sekitar pintu kedatangan bandara.
“Mas pulang sendiri, Ferran ada acara lain, Assalamualaikum,” ucapnya sebelum memasuki sebuah mobil berwarna biru dengan lambang taksi itu.
Sementara Haris hanya bisa menghela napas, melihat sang adik yang telah menghilang dibalik pintu mobil taksi lalu meninggalkannya begitu saja dengan kunci mobil yang kini berada di tangannya.
Kedua sudut bibir Haris terangkat, menyadari jika adiknya itu bukan hanya marah karena dirinya tak dapat menghadiri acara wisudanya, tetapi juga masih marah karena keputusannya dua tahun yang lalu.
Benar, di antara keluarganya hanya Ferran lah yang merestui pernikahannya dengan Bintang, Ferran juga sangat dekat dengan Bintang.
Haris paham Ferran pasti sangat kecewa padanya karena akhirnya tak dapat mempertahankan pernikahan itu, menyerah dan membuat keluarganya sontak merasa menang karena pernikahan itu akhirnya runtuh seperti yang selama ini selalu mereka doakan.
Haris menggelengkan kepalanya pelan, memilih untuk melanjutkan langkahnya sembari menyeret koper besarnya menuju sebuah area parkir, tempat dimana mobilnya sedang berada.
Dikemudikannya mobil yang telah lama tak di sentuhnya itu menuju sebuah tempat dimana separuh hatinya telah ikut tertanam, area pemakaman tempat di mana Ameena anaknya dengan Bintang telah beristirahat dengan tenang untuk selamanya.
Haris melangkah menuju sepetak tanah dengan batu nisan di atasnya, tangannya menaburkan kelopak bunga yang sempat dibelinya di sekitar area depan pemakaman tadi, tak lupa membawa sebuket bunga matahari yang diletakkan di atas batu nisan itu.
“Ayah datang sayang, Ameena pasti kangen sama ayah kan? Maaf dua tahun ini ayah gak bisa ngunjungin Ameena,” ucapnya bermonolog pada batu nisan yang tengah di pegangi olehnya.
“Ameena bahagia di sana kan? Ameena gak sakit lagi kan? Kenapa Ameena gak pernah datang ke mimpi ayah selama ini? Ameena marah dengan ayah?” tanya Haris masih bermonolog.
Usai membacakan doa dan membersihkan area disekitar makam anaknya itu Haris kemudian berlalu dari area pemakaman melanjutkan kembali perjalanannya untuk pulang ke kediaman orang tuanya.
Mobil yang ia kendarai kembali terhenti kala melihat sebuah toko kue yang terlihat begitu menggiurkan dari kejauhan.
Tiba – tiba saja Haris teringat dengan sebuah cake yang paling disukai oleh Ameena, cake yang selalu ia bawakan untuk princessnya kala melewati toko kue. Kali ini dirinya merindukan kembali moment itu, walaupun Ameena sudah tidak ada, setidaknya dirinya bisa kembali bernostalgia sekalian membawakan buah tangan untuk sang mama yang juga menyukai cheesecake.
Bunyi lonceng terdengar dipenjuru ruangan toko kue itu kala kakinya melangkah melewati pintu masuk, aroma kue langsung menyeruak memenuhi penciumannya. Sangat harum dan menggugah selera.
Haris menunjuk sebuah cheesecake yang terpajang di etalasi, “Cheesecakenya satu.”
Lalu sebuah suara menjawab dan sontak membuat wajahnya mendongak ke depan untuk memastikan kembali pendengarannya.
“Cheesecake, pilihan yang bagus, ini cake yang paling laris disini,” ucap suara itu dengan senyuman lebar di wajahnya.
Haris terdiam untuk beberapa saat, memandangi wajah itu.
Memastikan jika yang dilihatnya adalah orang yang sama seperti yang selama ini dikenalnya.
“Ada lagi pak?” lanjutnya kembali bertanya pada Haris kala dirinya telah selesai membungkus sebuah cheesecake ke dalam sebuah kotak.
Haris menggelengkan kepalanya, “Baik, satu loyang cheesecake totalnya seratus lima puluh ribu rupiah, cash atau debit?” lanjutnya lagi.
Haris mengeluarkan kartu dari dalam dompetnya, lalu memberikannya pada sosok perempuan itu.
“Baik terima kasih atas kunjungannya, jangan lupa untuk berkunjung kembali,” balas perempuan itu sembari memberikan kembali kartu milik Haris berikut dengan cheesecakenya.
Haris menerimanya dengan begitu kebingungan.
“Apakah Bintang memang pura – pura tidak mengenalku?” pikirnya dalam hati sembari memandangi sebuah wajah yang sudah begitu lama tak dilihatnya itu.
Haris sangat yakin jika perempuan yang berada di hadapannya itu adalah Bintang Imani, perempuan yang sempat menjadi istrinya. Namun hari ini Bintang berlaku seolah olah dirinya sama sekali tak mengenali Haris.
“Apa dia begitu membenciku hingga berakting seolah olah tak pernah mengenaliku?” pikir Haris.
Namun ada yang aneh, sorot mata itu sama sekali tidak ada kebohongan di dalamnya.
“Perempuan ini adalah Bintang atau orang lain yang memiliki wajah yang sama dengan Bintang?” gumam Haris masih penuh kebingungan.
Bersambung.... 👍
#Novel #merajutrindu
Komentar
Posting Komentar