Baca

Tokoh utama dalam cerita Si Manis Jembatan Ancol

Gambar
Tokoh utama dalam cerita ini adalah seorang pemuda bernama Ahmad. Dia dikenal sebagai seseorang yang jujur, pekerja keras, dan cerdas. Ahmad tumbuh dalam keluarga yang sederhana namun penuh kasih sayang. Ayahnya seorang petani sedangkan ibunya seorang guru di sebuah sekolah dasar. Ahmad selalu tekun belajar dan memperoleh nilai yang sangat baik di sekolah. Ia juga rajin membantu orang tua di sawah dan selalu siap membantu orang yang membutuhkannya. Meskipun hidup dalam keadaan yang sulit, Ahmad selalu berusaha untuk tetap optimis dan tidak pernah menyerah dalam menghadapi tantangan hidup. Hal ini membuat Ahmad menjadi sosok yang dikagumi oleh banyak orang. Akhir Kata Si Manis Jembatan Ancol , kita bisa menyimpulkan bahwa kebahagiaan sejati tidak selalu berasal dari hal-hal materialistis atau uang. Selain itu, kisah ini juga mengajarkan kita tentang pentingnya bersikap jujur dan memiliki hati yang tulus dalam menjalin hubungan dengan orang lain. Meskipun terkadang terdapat rintangan da...

Novel Pernikahan Beda Usia


 




" Pernikahan Beda Usia "


"Mau ke mana kamu beraninya akan keluar tanpa bilang-bilang, ternyata kangen mendapat hukuman?" Gibran heran melihat wajah istrinya basah sisa air wudu berjalan ke arah pintu dengan memeluk mukena.


Tangan kanan Aliza sudah terulur nyris meraih knop pintu, dia menyempatkan menoleh ke belakang daripada suaminya akan membuat onar di rumah sang papa. "Mau salat isya sama Papa serta Kak Zelina. Kita tuh biasa jamaah kalau pas kumpul di rumah." Ia menekankan kalimat terakhir seakan menyindir Gibran supaya hatinya tergerak ikut.


"Tidak boleh," desisnya. "Apa kamu lupa sudah menikah, sekarang ada aku yang jadi imam kamu."


Aliza membelalakkan mata. "Maksudnya?"


Gadis itu merasa masalah pendengarannya makin serius. Seumur-umur ia tidak percaya suami super galak sekaligus egois mau menurunkan ego. Menempatkan diri sebagai pemimpin keluarga yang baik. Bukankah enam bulan selalu salat sendiri-sendiri?


"Tunggu di sini sebentar, jangan berani keluar dari kamar selangkah pun!" Kalimat Gibran lebih terdengar seperti ancaman.


Gibran langsung pergi sesudahnya. Aliza melihat sang suami berjalan ke arah kamar mandi. Di kepala gadis yang malam ini tubuhnya tenggelam oleh kaus kebesaran bergambar Teddy Bear berjejalan pertanyaan, heran mendapati sang suami bisa menahan amarah. Pertama tidak mengamuk di depan papanya, kedua enggak memberi hukuman apa-apa, sekarang tiba-tiba akan menjadi imamnya. Aliza menepuk-nepuk pipi sendiri meyakinkan tidak halusinasi. Barulah yakin kalau aura positif serta baik di rumahnya menular pada sang suami.


Aliza melangkah menjauh dari pintu sebelum duduk di pinggiran ranjang, ia mengenakan mukena putih berbahan dove sambil menunggu Gibran siap.


Setelah suaminya kembali meraih baju koko serta sajadah yang memang disiapkan oleh pembantunya. Barulah mereka melakukan gerakan salat empat rakaat bersama. Hal yang tidak Aliza lupakan menjadi makmum pertama kali selama umur pernikahan jalan enam bulan.


Usai salat, Aliza meminta mencium punggung tangan Gibran seakan merasakan jadi suami-istri beneran. Berdoa semoga Gibran terus melunak, menghilangkan sisi egois pelan-pelan dan nanti pintu maafnya terbuka untuk kakak satu-satunya, Zelina.


"Aku mau langsung tidur." Gibran melepaskan baju koko serta menggantungnya, tentu sudah melipat sajadah.


Aliza mengangguk selagi melipat mukena seraya meletakkan ke lemari dengan rapi. Diam-diam mengamati Gibran yang baru saja merangkak ke ranjang ukuran queen. Tangannya terulur menarik ujung selimut bulu bergambar strawberry untuk menutup tubuh sebatas leher.


"Dia pikir tidur di puncak sampai kedinginan," gerutu Aliza melihat tingkah suaminya meringkuk di ranjang dengan selimut melilit hampir menutupi wajah.


Suara ranjang berderit terdengar saat Aliza naik mengambil posisi miring membelakangi suami. Baru saja lima menit ketenangan tidak berlangsung lama dan ia menyesal sempat berpikir suaminya tertular aura kebaikan. Gibran merentangkan lengan memenuhi kasur serta kakinya bergerak bebas.


"Kakak!" pekik Aliza hampir jatuh terkena tendangan Gibran. Gigi-giginya sudah beradu siap mencabik-cabik suaminya. "Geser sedikit bisa, 'kan?"


Gibran menoleh, menaikkan sebelah alis. "Memang salahku kalau ranjangmu sangat sempit? Apa perlu aku ganti semua isinya supaya--"


"Stop!" Aliza mengacak-acak rambut frustasi membuat Gibran tersenyum miring.


"Udah tua tapi ya sikapnya kekanak-kanakan," geramnya.


Bibir Aliza terus menggerutu sebal selagi tangannya meraih bantal untuk tidur di sofa. "Menyebalkan mana ada ranjang segitu sempit. Mau buat anak kecil main bola pun masih luas." Dia memeluk bantal merelakan ranjangnya dikuasai.


Bola matanya berputar sekilas melirik suami yang tidak merasa bersalah. Bibirnya mengerucut sebal, entah kenapa terlihat imut di mana Gibran.


"Di sini saja, kita bisa saling memeluk hangat agar ranjang sempit kamu muat berdua." Pria itu meraih tangan sang istri mencegahnya tidur di tempat lain.


Aliza melolot lebar. Kerutan halus di dahinya muncul mendengar kalimat aneh Gibran yang seakan kerasukan. Apa katanya tidur sambil berpelukan? Di sentuh seujung kuku pun ogah.


"Maaf, ya, Kak aku masih waras tahu banget isi kepala om mesum seperti Kakak." Aliza mengatakan dengan judes.


Gibran tertawa. "Kalau aku memang mesum seperti prasangka burukmu. Mana mungkin kamu masih segel sampai sekarang?"


Bibir tipis Aliza yang selalu berwarna merah jambu tanpa polesan lipstik langsung mengerucut, siap berbalik agar berdebatan episode selanjutnya tidak terjadi. Namun, tangan kekar suaminya lebih sigap mencengkeram lengan. "Temani suami kamu atau semua orang di rumah ini akan curiga."


Aliza sudah mengucap sumpah serapah dalam hati, setengah lagi membenarkan ucapan Gibran pasti papa atau kakaknya akan kaget menemukannya tidur di kamar tamu. "Ya sudah Kakak tidur di sofa saja." Ia menggerakkan dagu ke arah sofa cokelat di pojok.


Gibran tidak merespons, ia kembali bersandar pada tumpukan bantal dengan tangan terlipat.


"Kak, gimana sih masa aku yang di sana. Ini kamar siapa sebenarnya?" Aliza meletakkan bantal dengan dongkol, menepuk-nepuk permukaan bantal supaya mengembung.


"Emang enggak bisa tidur satu ranjang, setiap hari juga begitu, kan?" Gibran melirik.


Rasanya udara di ruangan panas penuh setan bertanduk. Hampir saja Aliza menuruti desakan untuk mencekik leher suami yang harus diakui tampan. Beruntung ada peri putih di khayalan Aliza mengingatkan supaya memupuk sabar lebih banyak.


Akhirnya dengan dongkol ia merangkak ke ranjang serta mengambil posisi miring. "Katanya mau langsung tidur, apaan mata masih 100 watt," gerutunya sebal.


"Aku masih dengar."


Aliza tidak peduli, tangannya terulur menarik selimut demi menutupi kakinya saja. Satu menit selanjutnya langsung memekik kaget merasakan tangan kekar melingkar ke tubuhnya menyusup dari selimut.


"Kakak mau apa? Jangan berani macam-macam!" Aliza menoleh justru melihat lekukan wajah suaminya dari jarak dekat sampai tidak berkedip sesaat. Menghirup aroma cendana yang entah kenapa membuat candu.


Gibran menaikkan sebelah alis. "Kenapa menatapku penuh minat? Hapus ilermu itu." Ia berdecak. "Aku tahu memang memesona, semua wanita akan terpikat melihat wajah tampanku."


Kresek mana kresek? Aliza ingin muntah mendengar ucapan terlampau percaya diri suaminya. Meskipun dari jarak sedekat itu bisa melihat iris kecokelatan yang memikat serta garis bibir sensual milik suaminya. Tapi tetap saja om-om bukan selera Aliza yang masih imut-imut.


Aliza menarik napas panjang, lalu berdecak. "Jangan kepedean kenapa Kak, aku tuh heran wajah kakak udah tua, matanya suka melotot. Kenapa Kak Lina bisa suka? Padahal Kak Lina cantik banget banyak pria antre mau jadi pacarnya malah milih menerima Kakak." Ia mengedik. "Kalau aku sih memang terpaksa."


Kepala Gibran mulai berat tidak fokus kalimat sang istri. Matanya bergerak turun mengamati leher, lalu turun ke dada istrinya yang tidak terlalu besar tapi cukup menggoda. Entah dirasuki apa ingin menyentuh semua, tidak peduli pada istrinya yang pernah meminta cerai hanya disentuh sebatas bibir


Gibran terdorong melakukan hal aneh lainnya. Menangkup pipi istrinya seraya maju untuk menyentuh bibir merah jambu yang sejak tadi mengacaukan saraf otak. Ketagihan menikmati sensasi manis serta lembut dari bibir tipis sang istri.


Aliza hampir menjerit yang langsung dibungkam rapat mulut suaminya. Sementara tangannya sudah bergerilya menyusup ke balik kaus sampai Aliza mengerjap.


'Papa tolong aku, Kak Lina tolong. Kak Gibran jahat sama aku,' jerit Aliza dalam hati. Sementara sisi lainnya merasakan terbuai sentuhan yang baru pertama kali. Tapi akal warasnya meminta mendorong keras suaminya.


Dengan sisa-sisa tenaga entah kenapa makin menipis, tangannya mendorong tubuh suaminya sampai menjeda jarak serta melepas tautan bibir.


"Alizaaa!"


"Kakak beraninya mengambil kesempatan!" teriaknya dengan tangan memukul dada bidang suaminya bertubi-tubi.


Gibran mengacak rambut frustrasi. "Kamu benar-benar menguji kesabaran. Apa kamu lupa kalau kita sudah sah, hah? Atau kamu mau aku melakukan dengan perempuan lain!"


Rasa bersalah Aliza tertahan di tenggorokan, dia terdiam membernarkan ucapan Gibran seperti cerita Feli. Tapi menyerahkan diri dengan sukarela pada Gibran tanpa rasa cinta sepertinya sulit.


"Jawab, kamu mau aku melakukan dengan perempuan di luar sana secara acak, sedangkan ada yang sah aku sentuh?" Gibran mengerang kesal.


Aliza balas menatap suaminya. "Tapi aku nggak bisa melakukan tanpa cinta. Kakak paham sedikit, apalagi aku masih kecil."


Tidak ada cinta? Kalimat itu menyadarkan Gibran kalau sedikit perhatian yang diberikan belum membuahkan hasil apa-apa



#Novel #pernikahan #bedausia



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara Verifikasi Foto e-KTP Kartu Prakerja

Tokoh utama dalam cerita Si Manis Jembatan Ancol

Mengenal Jenis Jenis Awan Yang Ada Di Langit